Blog Kekayaan Intelektual, jiwa dan Progresifitas HMJ HPI
Minggu, 20 April 2014
ASAS KEKECUALIAN ASAS TIDAK BERLAKUSURUT
ASAS KEKECUALIAN PERTAMA ASAS TIDAK BERLAKU SURUT
by Elis Nurhasanah
بسم الله الرّحمن الرّحيم
1. Kekecualian Asas Tidak Berlaku Surut
اَنَّ التَّشرِيْعِ الْجِنَائِيْ يَجُوْزُ اَنْ يَكُوْنَ لَهُ اِثْرَ رَجْعِيٌ فِيْ حَالَتِ الْجَرَائِمِ الْخَطِيْرَةِ الَّتِيْ تَمْسِ الْأَمْنَ الْعَامِ
2. artinya: Hukum Pidana Islam boleh berlaku surut pada jarimah-jarimah yang sangat berbahaya yang berkaitan dengan kekuasaan atau ketertiban umum.
3. Landasan :
QS Al Maidah :33
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ
ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
hadits 1
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ اجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَرَخَّصَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ يَأْتُوا إِبِلَ الصَّدَقَةِ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَقَتَلُوا الرَّاعِيَ وَاسْتَاقُوا الذَّوْدَ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُتِيَ بِهِمْ فَقَطَّعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسَمَرَ
أَعْيُنَهُمْ وَتَرَكَهُمْ بِالْحَرَّةِ يَعَضُّونَ الْحِجَارَةَ تَابَعَهُ أَبُو قِلَابَةَ وَحُمَيْدٌ وَثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu’bah telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas radliallahu ‘anhu bahwa ada sekelompok orang dari ‘Urainah yang sakit terkena udara dingin kota Madinah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengobati mereka dengan memberi bagian dari zakat unta, yang mereka meminum susu-susunya dan air kencingnya. Namun kemudian orang-orang itu membunuh pengembala unta tersebut dan mencuri unta-untanya sejumlah antara tiga hingga sepuluh. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang. Akhirnya mereka dibawa ke hadapan Beliau, lalu kemudian Beliau memotong tangan dan kaki mereka serta mencongkel mata-mata mereka dengan besi panas lalu menjemur mereka dibawah panas dan ditindih dengan bebatuan. Hadits ini dikuatkan juga oleh Abu Qalabah dan Humaid dari Tsabit dari Anas.
QS. An Nuur : 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَتَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur : 4)
QS. An Nuur :23
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,
Hadits 2
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمَّا نَزَلَ عُذْرِي قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَذَكَرَ ذَاكَ وَتَلَا تَعْنِي الْقُرْآنَ
فَلَمَّا نَزَلَ مِنْ الْمِنْبَرِ أَمَرَ بِالرَّجُلَيْنِ وَالْمَرْأَةِ فَضُرِبُوا حَدَّهُمْ
4474. Dari Aisyah RA, ia berkata, "Ketika Allah telah menurunkan udzurku (ayat-ayat Al Qur'an yang membebaskannya dari kasus fitnah terhadap dirinya), Nabi SAW berpidato di atas mimbar menyebutkan firman Allah. Dan ketika beliau turun dari mimbar, maka beliau segera memerintahkan dua orang lelaki dan seorang perempuan untuk diganjar dengan hukuman cambuk.Hasan.
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ بِهَذَا الْحَدِيثِ لَمْ يَذْكُرْ عَائِشَةَ قَالَ فَأَمَرَ بِرَجُلَيْنِ وَامْرَأَةٍ مِمَّنْ تَكَلَّمَ بِالْفَاحِشَةِ حَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ وَمِسْطَحِ بْنِ
أُثَاثَةَ
4475. Dari Muhammad bin Ishaq... (dengan menyebutkan hadits yang sama tanpa menyebutkan kata "Aisyah") Ia berkata, "Kemudian Rasulullah memerintahkan dua orang lelaki dan seorang wanita, yaitu Hassan bin Tsabit dan Misthah bin Utsatsah. (Yang telah menebarkan isu fitnah tentang Aisyah untuk segera dicambuk)." Hasan dengan hadits sebelumnya.
4. Penjelasan
Asas Pengecualian terhadap tidak berlaku surut ini, adalah untuk menjaga keamanan dan sistem umum dari tindak pidana yang sangat membahayakan.
Kedua ayat diatas yaitu surat Al Maidah [5] ayat 33 dan surat An Nur [23] ayat 4 serta hadits di atas merupakan landasan pengecualian asas tidak berlaku surut yang turun setelah perbuatan itu terjadi atau sebelum kedua ayat tersebut turun.
Asbab An Nuzul surat Al Maidah ayat 33 : Dalam riwayat ini turun berkenaan dengan kaum Uraynah yang melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap sahabat Rasulullah SAW. Dalam suatu riwayat lain dikemukakan bahwa Abdul Mlaik bin Marwan menulis surat kepada Ana, yang isinya menanyakan tentang ayat ini ( QS AL maidah:33). Anas menjawab dengan menerangkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan suku ‘Uraynah yang murtad dari agama Islam dan membunuh Pengembala unta serta membawa lari unta-untanya. ayat ini diturunkan sebagai kecaman bagi orang-orang yang berbuat keonaran di bumi: membunuh mengganggu, dan lain-lain. (Diriwayatkan oleh Jabir yang bersumber dari Yazid bin Abi Habib)
Penjatuhan hukuman tetap berlaku, meskipun perbuatan tersebut dilakukan sebelum turun ayat di atas. Hal ini menunjukan bahwa ayat tersebut dapat menjerat perbuatan yang dilakukan sebelum aturan tersebut ada.
Asbab An Nuzul Surat An Nuur ayat 4,6, yaitu didalam suatu riwayat dikemukaan bahwa Hilal bin Umayyah mengadu kepada Rasulullah, bahwa istrinya telah berzina. Nabi meminta bukti kepadanya, dan kalau tidak, ia sendiri yang akan dicambuk. Hilal berkata Ya Rasulullah! sekiranya salah seorang dari kami melihat laki-laki lain beserta istrinya, apakah ia mesti mencari saksi lebih dulu ? Nbi tetap meminta bukti atau ia sendiri yang akan dicambuk. Berkatalah Hilal : “ Demi Allah, yang mengutus engkau dengan hak, sesungguhnya akulah yang benar. Mudah-mudahan Allah menurunkan sesuatu yang akan melepaskanku dari hukuman cambuk”. maka turunlah Jibril membawa ayat ini sebagai petunjuk bagaimana seharusnya menyelesaikan masalah seperti ini. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Ikrimah yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas.
Dalam riwayat lain, ketika Aisyah dituduh melakukan zina, Rasulullah berdiri di atas mimbar menyebutkan hal itu dan membacakan ayat Al quran tersebut, lalu menghukum dua orang laki-laki dan seorang perempuan agar dipukul dengan cambuk.
Hal ini menunjukan bahwa ayat tersebut dapat menjerat perbuatan yang dilakukan sebelum aturan tersebut ada.
5. Contoh Kasus
a. Qadzaf ( menuduh zina)
Kasus ini menimpa Aisyah r.a, pernah dituduh melakukan zina, berita itu sampai kepada Rasulullah. Sebagian ulama berpendapat bahwa nash tindak pidana qadzaf diturunkan sesudah terjadinya berita ohong tersebut. Artinya nash tersebut berlaku surut karena telah disepakati bahwa Rasulullah telah menjatuhkan hukuman hudud kepada para penuduh. Rasulullah seolah-olah telah menerapkan nash tersebut atas peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum diturunkannya. Rasulullah menjatuhkan hukuman kepada para pelaku yang menuduh Aisyah dengan mencambuknya 80 kali jilid.
b. Hirabah (Perampokan)
Tindak pidana ini dilakukan oleh Suku Urayynah yang telah membawa lari unta-unta dan membunuh sahabat Nabi, Nabi menyuruh mengejar mereka dan tertangkap dan turunlah ayat Al-Quran surat Al Maidah:33, dan Nabi pun dalam sebuah hadits menjatuhkan hukuman kepada suku Uraynah dengan memotong tangan dan kaki serta mencungkil mata mereka dan meninggalkannya disuatu daerah sampai mereka meninggal dunia.
c. Zihar
Pada zaman dahulu zihar merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan rusaknya hubungan (akad) suami isteri dan merupakan bentuk talaq. Perbuatan ini pada awalnya tidak merupakan perbuatan tindak pidana sampai sahabat bernama Aus bin Samad men-zihar isterinya yang bernama Khaulah lalu menjumpai Rasulullah dan Khaulah berkata : Ya Rasulullah, aku telah lama hidup bersama suamiku; menghabiskan seluruh masa mudaku. aku telah banyak memberinya keturunan yang baik dari rahimku. akan tetapi, ketika aku telah berusia lanjut dan aku tidak bisa lagi memberimya keturunan, ia menzihar diriku” Rasulullah lalu bersabda: “Engkau telah haram baginya”, dan Khaulah mengulanginya namun Nabi tetap berkata seperti itu. Khaulah menjerit dengan suara keras : “ Hanya kepada Allah aku mengadukan hajatku ini”
Setelah itu, turunlah wahyu manakala Aisyah telah berpindah membasuh sisi rambut Nabi yang sebelahnya. Aisyah memberi isyarat agar Khaulah diam. Setelah wahyu turun, Rasulullah berkata:
“ panggilah suamimu untuk menghadapku”
ketika suaminya telah menghadap nabi dan membacakan ayat :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ [1]
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ [2]
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ[3]
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ[4]
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. QS. AL Mujadalah: 1-4.
6. Referensi
1. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid 2
2. Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayat ( Asas-Asas Hukum Pidana Islam), 2009, Bandung: Lembaga Penelitian UIN SGD Bandung.
3. Q. Shaleh dan A. Dahlan. Asbabun Nuzuul edisi kedua 2004. Bandung: CV Dipomorogo.
4. Shahih Sunan Abu Daud pdf.
5. Subulus Salam Pdf
ASAS KEKECUALIAN ASAS TIDAK BERLAKUSURUT
بسم الله الرّحمن الرّحيم
1. Kekecualian Asas Tidak Berlaku Surut
اَنَّ التَّشرِيْعِ الْجِنَائِيْ يَجُوْزُ اَنْ يَكُوْنَ لَهُ اِثْرَ رَجْعِيٌ فِيْ حَالَتِ الْجَرَائِمِ الْخَطِيْرَةِ الَّتِيْ تَمْسِ الْأَمْنَ الْعَامِ
2. artinya: Hukum Pidana Islam boleh berlaku surut pada jarimah-jarimah yang sangat berbahaya yang berkaitan dengan kekuasaan atau ketertiban umum.
3. Landasan :
QS Al Maidah :33
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ
ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
hadits 1
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ اجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَرَخَّصَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ يَأْتُوا إِبِلَ الصَّدَقَةِ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَقَتَلُوا الرَّاعِيَ وَاسْتَاقُوا الذَّوْدَ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُتِيَ بِهِمْ فَقَطَّعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسَمَرَ
أَعْيُنَهُمْ وَتَرَكَهُمْ بِالْحَرَّةِ يَعَضُّونَ الْحِجَارَةَ تَابَعَهُ أَبُو قِلَابَةَ وَحُمَيْدٌ وَثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu’bah telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas radliallahu ‘anhu bahwa ada sekelompok orang dari ‘Urainah yang sakit terkena udara dingin kota Madinah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengobati mereka dengan memberi bagian dari zakat unta, yang mereka meminum susu-susunya dan air kencingnya. Namun kemudian orang-orang itu membunuh pengembala unta tersebut dan mencuri unta-untanya sejumlah antara tiga hingga sepuluh. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang. Akhirnya mereka dibawa ke hadapan Beliau, lalu kemudian Beliau memotong tangan dan kaki mereka serta mencongkel mata-mata mereka dengan besi panas lalu menjemur mereka dibawah panas dan ditindih dengan bebatuan. Hadits ini dikuatkan juga oleh Abu Qalabah dan Humaid dari Tsabit dari Anas.
QS. An Nuur : 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَتَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur : 4)
QS. An Nuur :23
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,
Hadits 2
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمَّا نَزَلَ عُذْرِي قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَذَكَرَ ذَاكَ وَتَلَا تَعْنِي الْقُرْآنَ
فَلَمَّا نَزَلَ مِنْ الْمِنْبَرِ أَمَرَ بِالرَّجُلَيْنِ وَالْمَرْأَةِ فَضُرِبُوا حَدَّهُمْ
4474. Dari Aisyah RA, ia berkata, "Ketika Allah telah menurunkan udzurku (ayat-ayat Al Qur'an yang membebaskannya dari kasus fitnah terhadap dirinya), Nabi SAW berpidato di atas mimbar menyebutkan firman Allah. Dan ketika beliau turun dari mimbar, maka beliau segera memerintahkan dua orang lelaki dan seorang perempuan untuk diganjar dengan hukuman cambuk.Hasan.
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ بِهَذَا الْحَدِيثِ لَمْ يَذْكُرْ عَائِشَةَ قَالَ فَأَمَرَ بِرَجُلَيْنِ وَامْرَأَةٍ مِمَّنْ تَكَلَّمَ بِالْفَاحِشَةِ حَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ وَمِسْطَحِ بْنِ
أُثَاثَةَ
4475. Dari Muhammad bin Ishaq... (dengan menyebutkan hadits yang sama tanpa menyebutkan kata "Aisyah") Ia berkata, "Kemudian Rasulullah memerintahkan dua orang lelaki dan seorang wanita, yaitu Hassan bin Tsabit dan Misthah bin Utsatsah. (Yang telah menebarkan isu fitnah tentang Aisyah untuk segera dicambuk)." Hasan dengan hadits sebelumnya.
4. Penjelasan
Asas Pengecualian terhadap tidak berlaku surut ini, adalah untuk menjaga keamanan dan sistem umum dari tindak pidana yang sangat membahayakan.
Kedua ayat diatas yaitu surat Al Maidah [5] ayat 33 dan surat An Nur [23] ayat 4 serta hadits di atas merupakan landasan pengecualian asas tidak berlaku surut yang turun setelah perbuatan itu terjadi atau sebelum kedua ayat tersebut turun.
Asbab An Nuzul surat Al Maidah ayat 33 : Dalam riwayat ini turun berkenaan dengan kaum Uraynah yang melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap sahabat Rasulullah SAW. Dalam suatu riwayat lain dikemukakan bahwa Abdul Mlaik bin Marwan menulis surat kepada Ana, yang isinya menanyakan tentang ayat ini ( QS AL maidah:33). Anas menjawab dengan menerangkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan suku ‘Uraynah yang murtad dari agama Islam dan membunuh Pengembala unta serta membawa lari unta-untanya. ayat ini diturunkan sebagai kecaman bagi orang-orang yang berbuat keonaran di bumi: membunuh mengganggu, dan lain-lain. (Diriwayatkan oleh Jabir yang bersumber dari Yazid bin Abi Habib)
Penjatuhan hukuman tetap berlaku, meskipun perbuatan tersebut dilakukan sebelum turun ayat di atas. Hal ini menunjukan bahwa ayat tersebut dapat menjerat perbuatan yang dilakukan sebelum aturan tersebut ada.
Asbab An Nuzul Surat An Nuur ayat 4,6, yaitu didalam suatu riwayat dikemukaan bahwa Hilal bin Umayyah mengadu kepada Rasulullah, bahwa istrinya telah berzina. Nabi meminta bukti kepadanya, dan kalau tidak, ia sendiri yang akan dicambuk. Hilal berkata Ya Rasulullah! sekiranya salah seorang dari kami melihat laki-laki lain beserta istrinya, apakah ia mesti mencari saksi lebih dulu ? Nbi tetap meminta bukti atau ia sendiri yang akan dicambuk. Berkatalah Hilal : “ Demi Allah, yang mengutus engkau dengan hak, sesungguhnya akulah yang benar. Mudah-mudahan Allah menurunkan sesuatu yang akan melepaskanku dari hukuman cambuk”. maka turunlah Jibril membawa ayat ini sebagai petunjuk bagaimana seharusnya menyelesaikan masalah seperti ini. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Ikrimah yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas.
Dalam riwayat lain, ketika Aisyah dituduh melakukan zina, Rasulullah berdiri di atas mimbar menyebutkan hal itu dan membacakan ayat Al quran tersebut, lalu menghukum dua orang laki-laki dan seorang perempuan agar dipukul dengan cambuk.
Hal ini menunjukan bahwa ayat tersebut dapat menjerat perbuatan yang dilakukan sebelum aturan tersebut ada.
5. Contoh Kasus
a. Qadzaf ( menuduh zina)
Kasus ini menimpa Aisyah r.a, pernah dituduh melakukan zina, berita itu sampai kepada Rasulullah. Sebagian ulama berpendapat bahwa nash tindak pidana qadzaf diturunkan sesudah terjadinya berita ohong tersebut. Artinya nash tersebut berlaku surut karena telah disepakati bahwa Rasulullah telah menjatuhkan hukuman hudud kepada para penuduh. Rasulullah seolah-olah telah menerapkan nash tersebut atas peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum diturunkannya. Rasulullah menjatuhkan hukuman kepada para pelaku yang menuduh Aisyah dengan mencambuknya 80 kali jilid.
b. Hirabah (Perampokan)
Tindak pidana ini dilakukan oleh Suku Urayynah yang telah membawa lari unta-unta dan membunuh sahabat Nabi, Nabi menyuruh mengejar mereka dan tertangkap dan turunlah ayat Al-Quran surat Al Maidah:33, dan Nabi pun dalam sebuah hadits menjatuhkan hukuman kepada suku Uraynah dengan memotong tangan dan kaki serta mencungkil mata mereka dan meninggalkannya disuatu daerah sampai mereka meninggal dunia.
c. Zihar
Pada zaman dahulu zihar merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan rusaknya hubungan (akad) suami isteri dan merupakan bentuk talaq. Perbuatan ini pada awalnya tidak merupakan perbuatan tindak pidana sampai sahabat bernama Aus bin Samad men-zihar isterinya yang bernama Khaulah lalu menjumpai Rasulullah dan Khaulah berkata : Ya Rasulullah, aku telah lama hidup bersama suamiku; menghabiskan seluruh masa mudaku. aku telah banyak memberinya keturunan yang baik dari rahimku. akan tetapi, ketika aku telah berusia lanjut dan aku tidak bisa lagi memberimya keturunan, ia menzihar diriku” Rasulullah lalu bersabda: “Engkau telah haram baginya”, dan Khaulah mengulanginya namun Nabi tetap berkata seperti itu. Khaulah menjerit dengan suara keras : “ Hanya kepada Allah aku mengadukan hajatku ini”
Setelah itu, turunlah wahyu manakala Aisyah telah berpindah membasuh sisi rambut Nabi yang sebelahnya. Aisyah memberi isyarat agar Khaulah diam. Setelah wahyu turun, Rasulullah berkata:
“ panggilah suamimu untuk menghadapku”
ketika suaminya telah menghadap nabi dan membacakan ayat :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ [1]
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ [2]
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ[3]
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ[4]
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. QS. AL Mujadalah: 1-4.
6. Referensi
1. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid 2
2. Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayat ( Asas-Asas Hukum Pidana Islam), 2009, Bandung: Lembaga Penelitian UIN SGD Bandung.
3. Q. Shaleh dan A. Dahlan. Asbabun Nuzuul edisi kedua 2004. Bandung: CV Dipomorogo.
4. Shahih Sunan Abu Daud pdf.
5. Subulus Salam Pdf
Jumat, 04 April 2014
KAIDAH FIQHIYAH
Kaidah Ushul Fiqh
February 23, 2012 by admin
Al-Qur’an dan hadits yang sampai kepada kita masih otentik dan orisinil. Orisinilitas dan otentisitas didukung oleh penggunaan bahasa aslinya, yakni bahasa Arab karena al-Qur’an dan Hadits merupakan dua dalil hukum, yakni petunjuk-petunjuk adanya hukum. Untuk mengetahui hukum-hukum tidak cukup hanya dengan adanya petunjuk, melainlkan perlu cara khusus untuk mengetahui atau memahaminya dari petunjuk –petunjuk itu. Cara khusus itulah yang kita sebut metode. Ilmu untuk mengetahui cara itu di sebut metodelogi. Metodelogi untuk memahami hukum Islam dari petunjuk-petunjuknya di sebut Ilmu Ushul Fiqh.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai lima qaidah pokok ushul fiqh, pengertian, sumber, cabang , dan aplikasinya.
KAIDAH-KAIDAH FIQH
A. Definisi Qaidah Fiqh
Secara etimologi, arti qaidah adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bias juga diartikan dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya).(Al-Asfahani: 409, Az-Jaidy:171)
Adapun menurut istilah atau nterminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi, sebagaimana ditulis dalam beberapa kitab di bawah ini:
1. Dalam kitab At-Ta’rifat:
قضية كلية منطبق على جميع جزئيتها
Artinya: “Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya (juz-juznya).”
2. Dalam kitab Syarah Jamu’ al-Jawami’:
قضية كلية يتعرف منها احكام جزئيتها
Artinaya: “Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hokum dan bagian-bagiannya”.
3. Dalam kitab At-Talwih ‘ala at-Taudih:
حكم كلي ينطبق على جزئياته يتعرف احكامها منه
Artinya: “Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui hukumnya.”
4. Dalam kitab Al-Ashbah wa An-nadzair:
الامر الكلي الذي ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
Artinya: “Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa di fahami hukumnya dari perkara tersebut”.
5. Dalam kitab Syarh Mukhtashor al-Raudah fi Ushul Fiqh:
القضايا الكلية التي يعرف بالنظر فيها قضايا جزئية
Artinya: “Ketentuan universalyang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui penalaran.”
B. Faedah Mengetahuinya
Sebagaimana telah dikatakan oleh ulama ushul bahwa qaidah fiqhiyah itu adalah kaidah-kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqhi yang menjadi pedoman untuk menetapkan hokum setiap peristiwa fiqhiyah baik yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali. Oleh karena itu dengan mempelajari qaidah fiqhiyah seseorang telah mempunyai pedoman untuk menetapkan hulkum untuk setiap peristiwa fiqhiyah.
Disamping itu juga berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid untuk mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fiqhiyah dan sebagai kaidah (dalil) untuk menetapkan hukum masalah-masalah baru yang tidak ditunjuk oleh nash yang sharih yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Oleh karena itu, setiap orang yang sanggup menguasai kaidah-kaidah fiqhiyah niscaya mampu menguasai seluruh bagian masalah fiqh dan sanggup menetapkan ketentuan hokum setiap peristiwa yang belum atau tidak ada nashnya.
Di bawah ini akan diterangan beberapa alasan yang mendukung pandangan d atas, antara lain:
a. Imam Sarkhasi berkata dalam kitab Khitamu Ba’dul Fusuli: “Siapa saja yang menhukimi suatu masalah cabang dengan ashl dan ia benar-benar memahaminya maka akan mudah baginya untuk mengambil kesimpulannya.”
b. Imam Al- Mardinami berkata dalam kitab Al-Ma’akil: “Barang siapa yang menghukumi ashal dengan yang sebenarnya, ia akan bisa mengeluarkan hukum sesuai dengan keinginannya, baik berdasarkan pandangannya ataupun yang berlawaqnan.”
c. Pendapat Iamam Al-Qarafi dalam permasalahan ini sangat bagus, sebagaimana teks dibawah ini: “Qaidah ini sangat penting dalam fiqih dan besar sekali manfaatnya. Mereka yang betul-betul menelaahnya akan menjadi seorang faqih dan mendapatkan kemulyaan, serta akan mendapatkan rahasia-rahasia fiqih. Ilmu ini juga akan memudahkan dalam memberikan fatwa. Dan barang siapa yang memutuskan suatu cabang permasalahan hanya bersandarkan pada juziyah saja dan tidak memprehatikan kulliyah, dipastikan cabang tersebut bertentangan dengan cabang-cabang yang lain, sehingga menimbulkan kebingungan dan menyempitkan dirinya. Dan barang siapa yang berhujjah dengan hanya menghafal juziyah saja, hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan menghabiskan umurnya tanpa bisa mencapai cita-citanya. Sebaliknya, mereka yang memperdalam fiqih melalui qaidah-qaidah fiqih tidak harus menghafalkan berbagai macam juz fiqih, karena telah tercakup dalam kulliyah. Selain itu, iapun dapat menyatakan berbagai macam perpecahan dan pertentangan. Dengan demikian, ia bisa menjawab berbagai macam permasalahan yang rumit dalam waktu singkat, dan lapanglah dadanya karena dapat menemukan pemecahan berbagai permasalahan yang diinginkannya.” (Al-Faruq, 1 : 3). Qaidah fiqhiyyah merupakan petunjuk arah bagi penggali hukum.
Sebenarnya masih banyak pendapat para ulama lainnya, namun pendapat mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Dengan menggunakan hukum ashal serta berbagai cabangnya, seseorang betul-betul dapat mendalami fiqih dan menjadikannya mampu untuk menganalisis berbagai maslah.
b. Dengan mempelajarinya, hal itu akan membantu penghapalan dan penetapan berbagai masalah yang berdekatan, dan mampu mencapai ketetapan hukum tanpa merasa lelah dan memerlukan waktu yang panjang. Hal itu, sesuai dengan fungsi qaidah yaitu untuk mengahasilkan berbagai hukum.
c. Kebutuhan para penggali hokum untuk menghapal qaidah, dewasa ini semankin mendesak. Hal itu antara lain, karena semakin kompleksnya berbagai masalah dalam kehidupan.
d. Kurangnya perhatian terhadap qaidah fiqih, menurut Muhammad at-Thahir ‘Assyura, termasuk diantara penyebab terbelakangnya fiqih, sebagaimana pendapatnya, “Tidak adanya perhatian terhadap ashal, atau kurangnya upaya untuk mengumpulkan berbagai pandangan dan qaidah untuk menetapkan suatu cabang, kemudian menyatukan keduanya, menyebabkan berhentinya usaha mengeluarkan berbagai cabang lainnya, bahkan cabang tersebut seakan-akan telah menjadi qaidah”.
C. Dasar-dasar Pengambilannya.
Yang dimaksud dengan dasar pengambilan dalam uraian ini ialah dasar-dasar perumusan qaidah fiqhiyah, meliputi dasar pormil dan materielnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan kaidah fiqhiyyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan kaidak fiqhiyyah.
Adakah ayat Al-Qu’an atau hadits yang mengandung ketentuan untuk dirumuskannya kaidah fiqhiyyah itu. Kalau tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah lalu apa dasarnya? Adapun dasar materiel maksudnya dari mana materi kaidah fiqhiyyah itu dirumuskan. Apakah semata-mata hasil pemikiran ulama atau mengambil dari ayat atau sunnah, kemudian disimpulkan atau diformulasikan dengan kata-kata yang berbeda.
1. Dasar Formal.
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu kaidah yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Seperti dari firman Allah pada surat al-Bayyinah (98) : 5 dan hadits Nabi riwayat Bukhori dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:
انما الاعمال بالنيات
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya”.
Diistimbatkan hukum melakukan niat untuk setiap perbuatan ibadah. Karena persoalan niat juga mempunyai arti penting dalam soal-soal lain, maka dirumuskan kaidah fiqhiyyah:
الامور بمقاصدها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud megerjakannya”.
Jadi perumusan kaidah fiqhiyyah itu berdasar al-Qur’an dan as-Sunnah dalam rangkah untuk mempermudah pelaksanaan istinbath dan ijtihad.
2. Dasar Materiel
Adapun dasar materiel atau tegasnya bahan-bahan yang dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu, adakalanya dari nash hadits, seperti kaidah yang berbunyi:
الضرر يزال
“Kemudharatan itu harus dihilangkan”.
Qaidah ini, berasal dari hadits Nabi:
لاضرارولاضرار (رواه ابن ماجه)
“Tidak boleh membuat mudharat diri sendiri dan tidak boleh memudharatkan orang lain”
Qaidah yang berasal dari hadits tersebut berlaku untuk semua lapangan hokum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat, maupun jinayat.
Di samping qaidah fiqhiyyah yang dirumuskan dari lafadh hadits, seperti tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa hasil qaidah fiqhiyyah itu hasil perumusan ulama yang kebanyakan sukar ditetapkan siapa perumusnya.
D. Lima Kaidah Pokok, Pengertian, Sumber, Cabang , dan Aplikasinya.
Qaidah pertama:
الامور بمقاصدها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”
Qaidah ini memberikan pengertian bahwa setiap amal perbuatan manusia, baik yang berwujud perkataan maupun perbuatan diukur menurut niat sipelaku. Untuk mengetahui sejauh mana niat si pelaku, haruslah diliha adanya qarinah-qarinah yang dapat dijadikan petenjuk untuk mengetahui jenis niat dari pelakunya.
Yang melandasi rumusan qaidah ini ialah firman Allah:
وما امروا الا ليعبدواالله مخلصين له الدين (البينة : ه)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (niat) ketaatan kepada-Nya”. (al-Bayyinah (98): 5).
Hadits Nabi:
انما الاعمال بالنيات واما لكل امرئ ما نوى (رواه البخاري)
“Bahwasannya perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan yang diniatkan”. (HR. al-Bukhory).
Cabang- cabangnya
1. Qaidah
مالا يشترط التعرض له جملة وتفصيلا اذ عينه واخطء لم يضر
“Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan ( tidak membatalkan ).”
2. Qaidah
وما يشترط فيه التعرض فالخطء فيه مبطل
“Sutu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatan tersebut.”
3. Qaidah
النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعم الخاص
“Niat dalam sumpah engkhususklan lafadz umum dan tidak pula menjadikan umum pada lafadz yang khusus.”
Contoh aplikasinya
1. Dalam sholat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah rakaat, maka bila seorang muslim berniat melaksanakan sholat Magrib 4 rakaat, tetapi ia tetap melaksanakan tiga rakaat, makasholatnya sah.
2. Seseorang yang akan melaksanakan sholat Dzhuhur, tapi niatnya melaksanakan sholat asahr maka sholatnya tidak sah.
3. Seseorang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseorang dan maksudnya dengan ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada dia saja.
Qaidah kedua:
اليقين لايزال بالشك
“Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu
keraguan”
Jadi maksud qaidah ini ialah: Apabila seseorang telah meyakini suatu perkara, maka yang telah yakin ini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
Berdasarkan qaidah ini, manakala seseorang menjumpai sutu keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diperlakukan hokum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lewat, sampai ada hukum lain yang merubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.
Qaidah ini disimpulkan berdasarka hadits:
اذاشك احدكم فى صلاته فلم يدر كم صلى اثلاثا ام اربعا فليطرح الشك واليقين على مااستيقن
“Jika salah seorang diantara kamu ragu-ragu dalam mengerjakan sholat dan tidak tahu berapa rakaat ia telah sholat. Apakah telah mengerjakan tiga atau empat rakaat, maka hendaklah menghilangkan keraguan itu dan hendaknya menetapkan dengan apa yang diyakininya”.(HR.Muslim)
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
الاصول بقاء ما كان على ما كان
“Yang menjadi dasar adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada”.
2. Qaidah
الاصل براءة الذ مة
“ Asal itu bebas dari tanggungan”
3. Qoidah
الاصل فى اللاشياء الاباحة
“ Asal dari sesuatu adalah kebolehan.”
4. Qaidah
الاصل فى الاباحة التحريم
“ Asal dari dalam kemubahan adalah keharaman.”
5. Qaidah
الاصل فى الكلام الحقيقة
“ Asal dari ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”
Contoh aplikasinya.
Apabila seseorang sedang melakukan sholat Ashar, kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud sahwi dua kali.
Qaidah ketiga:
الضرر يزال
“Kemudhorotan itu harus dihilangkan”
Redaksi kata-kata dalam qaidah ini, menunjukkan bahwa kemudhoratan yang telah terjadi wajib dihilangkan.
Sedangkan arena daripada qaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh. Diantaranya ia mengembalikan barang telah dibeli, karena adanya cacat, disyari’aqtrkannya berbagai macam khiyar, syuf’ah dan hudud.
Qaidah ini berasal dari hadits:
لاضرارولاضرار (رواه ابن ماجه)
“Tidak boleh membuat kemodhoratan dan membalas dengan kemudhoratan”. (HR. Ibnu Majah).
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
الضررلا يزال بمثله
“Kemudhorotan tidak boleh dihilangkan dengan kemudhorotan yang sebanding”.
2. Qaidah
الضرورات تبيح المحظورات
“Keadaan dharurat itu membolehkan larangan-larangan”.
3. Qaidah
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“ Menolak kemafsadatan didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”
Contoh aplikasinya
1. Tidak boleh bagi seseorang yang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan apabila makanannya hilang
2. Begitu juga dilarang bagi dokter mengobati pasien yang memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami penyakit kekurangan darah.
Qaidah keempat:
المشقة تجلب التيسير
“Kesukaran itu mendatangkan kemudharatan”
Qaidah di atas memberikan arti bahwa setiap kesepitan yang dihadapi oleh seseorang atau masyarakat harus diperlonggar sedemikian rupa, sehingga benar-benar akan terasa adanya kebahagiaan dengan datangnya syari’at Islam.
Sedangkan mengenai kadar yang harus dipakai untuk menghilangkan kesempitan ini syari’at Islam telah meletakkan aturan-aturannya yang difahami dari qidah-qaidah berikut.
Qaidah ini berdasarkan kepada:
وما جعل عليكم فى الدين من حرج
”Dan Dia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesulitan”. (al-Hajj: 78)
يريدالله بكم اليسر ولايريد بكم العسر
“Allah menghendaki menghendaki bagimu kemudahan dan tidak menghenbaki bagimu kesulitan”. (al-Baqarah:
فمن اضطر غيرباغ ولاعاد فلا اثم عليه
“Tetapi barang sispa dalam keadaan terpaksa (memakannya)sedang ia tidak menginginkannyadan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”.
(al: Baqarah: 173).
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
الامر اذا ضاق اتسع
“Suatu perkara apabila sempit menjadi luas”.
2. Qaidah
الرخصة لا تناط بالمعاصى
“ Rukhsoh –rukhsoh itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
3. Qaidah
الرخصة لا تناط بالشك
“ Rukhsoh –rukhsoh itu tidak boleh dihubungkan dengan keraguan.”
Contoh aplikasinya
1. Dalam keadaan musafir, dibolehkan mengqoshor shalat, dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
2. Bolehnya buka puasa ketika bepergian atau sakit
3. Dibolehkan tidak ada wajib qobil dalam jual barang-barang yang tidak berharga.
4. Tidak ada kelonggaran untuk melaksanakan maksiat apapun alasannya, tapi diharuskan untuk menghindarinya
Qaidah kelima:
العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Maksud dari qaidah ini adalah suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai urf atau adat.
Adapun sampai di mana sutu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat disebut adap. Para fuqaha memberikan definisi sebagai berikut:
العادة ما تعاررفه الناس وساروا عليه فى مجرى حياتهم سواءكان قولا ام فعلا
“Adat ialah segala yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu telah menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalamkehidupan mereka baik betupa perkataan maupun pebuatan”.
Qaidah ini ditetapkan berdasarkan firman Allah:
واءمر بالعرف واعرض عن الجاهلين
“Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh”. (al-A’rof: 199).
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
المعروف عرفا كالمشروط شرط
“Yang baik itu menjadi ‘urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
2. Qaidah
الثابت بالمعروف كالثابت بالنص
“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.”
Contoh aplikasinya
1. Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan ( adat ) maka ulama membolehkannya.
2. Mereka yang mengajarkan al- Qur’an dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar al-Qur’an tetap eksis dikalangan umat islam.
KESIMPULAN
Secara etimologi, arti qaidah adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bias juga diartikan dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya).(Al-Asfahani: 409, Az-Jaidy:171)
Adapun menurut istilah atau nterminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi, sebagai berikut:
a. Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya (juz-juznya).
b. Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.
c. Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui hukumny.
d. Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa di fahami hukumnya dari perkara tersebut.
Imam Sarkhasi berkata dalam kitab Khitamu Ba’dul Fusuli: “Siapa saja yang menhukimi suatu masalah cabang dengan ashl dan ia benar-benar memahaminya maka akan mudah baginya untuk mengambil kesimpulannya.”
Imam Al- Mardinami berkata dalam kitab Al-Ma’akil: “Barang siapa yang menghukumi ashal dengan yang sebenarnya, ia akan bisa mengeluarkan hukum sesuai dengan keinginannya, baik berdasarkan pandangannya ataupun yang berlawaqnan.”
Lima qaidah pokok:
1. Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya
2. Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu
keraguan
3. Kemudhorotan itu harus dihilangkan
4. Kesukaran itu mendatangkan kemudharatan
5. Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Miftahul, Faishal Haq, Ushul Fiqh, Surabaya: CV. Citra Media, 1997
Hamid, Abdul Hakim, Mabady Awwaliyyah, Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra,
Syafe’I, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007
Kamis, 03 April 2014
Profil Jurusan Hukum Pidana Islam UIN SGD Bandung
Jurusan Hukum Pidana Islam
Visi Jurusan
Menjadi
pusat pengembangan sumber daya manusia yang memiliki integritas,
kualitas dan kompetensi, keahlian serta keterampilan yang dilandasi oleh
keyakinan dan ahlak islami, sehingga siap menjadi unsur perubah,
penggerak dan pelaksana nilai-nilai yang professional dengan bekal
kompetensi dan keterampilan dalam bidang Hukum Pidana Islam.
Misi Jurusan
- Menyelenggarakan pendidikan vokasional dalam bidang Hukum Pidana Islam yang berorientasi pada pemahaman dasar hokum, konsep, teori, landasan, ijtihad dan nilai-nilai jina’i.
- Menyelenggarakan peraktek peradilan dalam rangka mencetak sumber daya manusia yang memiliki integritas, kemampuan dan keterampilan di bidang Hukum Pidana Islam.
- Membangun jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga hukum, lembaga bantuan hukum, advokat dan atau instansi yang bergerak di bidang hukum.
Tujuan Jurusan
Menghasilkan sarjana hukum yang ahli di bidang Hukum Pidana posistif dan Hukum Islam.
Kompetensi Lulusan
- Memahami wawasan hukum pidana positif dan islam
- Menjadi tenaga konsultan hukum pidana positif dan islam yang obyektif dan adil.
- Menjadi tenaga ahli hukum pidana islam yang professional.
- Menjadi ahli hukum pidana islam yang mencintai pengetahuan.
- Menjadikan ahli hukum pidana islam yang mempunyai sifat inovatif, kreatif dan responsif.
- Memiliki keterampilan dalam memberikan pendapat dan fatwa hukum pidana positif dan islam.
- Mampu menjelaskan dan menguraikan wawasan hukum pidana positif dan islam.
Prospek Lulusan
- Menjadi praktisi di lingkungan Peradilan Negeri dan Agama : Hakim, Panitera dan juru Sita.
- Pengacara (advokat)
- Pegawai Negeri Sipil.
- Aktivis Lembaga Bantuan Hukum dan lain-lain.
Mata Kuliah
No
|
Mata Kuliah
|
1.
|
Pengantar Ilmu Hukum
|
2.
|
Hukum Acara Peradilan Agama
|
3.
|
Hukum Pidana Internasional
|
4.
|
Hukum Acara Perdata
|
5.
|
Hukum Acara Pidana
|
6.
|
Perbandingan Hukum Pidana
|
7.
|
Etika Profesi Hukum
|
8.
|
Hukum Perburuhan
|
9.
|
Hukum Dagang
|
10.
|
Hukum Pajak
|
11.
|
Hukum Agraria
|
12.
|
Psikologi Hukum
|
13.
|
Hukum Pidana Islam (Hudud)
|
14.
|
Hukum Pidana Islam (Qishos, Diyat)
|
15.
|
Hukum Kewarisan Islam
|
16.
|
Sosiologi Hukum
|
17.
|
Ilmu Negara
|
18.
|
Hukum Pidana
|
19.
|
Hukum Perdata
|
20.
|
Hukum Tata Negara
|
21.
|
Kriminologi
|
22.
|
Hukum Adat
|
23.
|
Hukum Internasional
|
24.
|
HukumHAM
|
25.
|
Hukum Administrasi Negara
|
26.
|
Hukum Pajak
|
27.
|
Hukum Perundang-undangan
|
28.
|
Hukum Pidana Islam (Ta’zir)
|
29.
|
Istinbat al Ahkam Hukum Islam
|
30.
|
Hukum Perkawinan Islam
|
Fasilitas
- Memiliki tempat kuliah yang nyaman.
- Tenaga pengajar (dosen) kualifikasi Master (S2) dan Doktor (S3)
- Jurusan terakreditas B oleh BAN PT
- Beasiswa dari Kementerian Agama LAZ Baitul Hikmah FSH, Bank Indonesia , Perusahaan swasta nasional dan lain-lain.
Pimpinan dan Dosen
Ketua Jurusan
Dr. Syahrul Anwar, M.Ag
Sekretaris Jurusan
Jaenuddin, M.Ag
Dosen Jurusan
Prof. KH. Atjep Djazuli
Dr. H. Boedi Abdullah, M.Ag
Drs. H. Nazmudin
Drs. H. Abdul Hamid, M.Ag
Drs. H. Solihin Salam
Drs. M. Ahsanuddin Jauhari, M.Hum
Drs. Ayi Sofyan, M.si
M. Sar’an, M.Ag
Drs. Atep Mansur
Drs. H. Asep Mustafa Kamal, M.Ag
Abdullah Syafe’I, M.Ag
Drs. Gojali
Drs. H. Asep Arifin, M.Ag
Langganan:
Postingan (Atom)